Franchisee Dibebani Gaji Jukir Liar: Kebijakan Aneh Era Eri Cahyadi
Dalam dunia waralaba ritel modern seperti Indomare
t dan Alfamart, pemilik waralaba (franchisee) sudah menanggung beban biaya yang tidak kecil. Selain biaya awal pembukaan toko dan operasional harian, mereka juga berinvestasi dalam menyewa atau membeli lahan yang cukup luas demi menyediakan kenyamanan bagi konsumen—termasuk fasilitas parkir gratis. Tak hanya itu, mereka juga membayar retribusi parkir kepada pemerintah daerah sebagai bentuk kontribusi resmi terhadap pendapatan daerah.
Namun di Surabaya, sebuah kebijakan yang tak lazim mengemuka. Wali Kota Eri Cahyadi justru memaksa toko-toko ritel modern ini untuk menggaji para juru parkir liar yang seringkali tidak resmi, tidak terlatih, dan dalam banyak kasus tidak memiliki legitimasi hukum. Jukir liar ini acapkali memungut uang dari pengunjung tanpa dasar hukum yang jelas, dan kini justru dilindungi serta “disahkan” secara de facto lewat beban gaji dari pihak toko.
Hal ini tentu menjadi preseden buruk dalam tata kelola kota. Bukannya menertibkan sistem parkir dan memberdayakan jukir liar melalui pelatihan, sertifikasi, atau mekanisme penggajian oleh pemda, pemerintah justru melempar tanggung jawab itu kepada sektor swasta yang sudah lebih dulu menunaikan kewajibannya.
Pertanyaannya, di mana keadilan dalam kebijakan publik ini? Bukankah peran pemerintah adalah menciptakan ketertiban, bukan membebani pihak yang sudah tertib demi mengakomodasi yang tidak tertib?
Kebijakan semacam ini justru membuka ruang bagi ketidakjelasan hukum. Jika semua pelaku usaha harus menggaji "penjaga liar" yang muncul di sekitar properti mereka, apakah ini tidak membuka peluang pemerasan terselubung dengan dalih sosial? Bagaimana nasib sektor usaha kecil lain yang tidak punya kemampuan membayar “gaji jukir liar”, apakah mereka akan dipalak terus atau dipaksa mengikuti kebijakan yang sama?
Pemerintah seharusnya melindungi dunia usaha, menciptakan ekosistem yang sehat dan tertib. Jika niatnya adalah memberi pekerjaan kepada masyarakat kecil, maka jalurnya adalah pelatihan, legalisasi, dan penggajian oleh negara—bukan dengan membebani investor dan pelaku usaha yang taat aturan.
Franchisee bukan sumber dana tak terbatas. Mereka adalah pelaku ekonomi yang seharusnya disokong, bukan dijadikan "bank berjalan" demi menutupi kegagalan pemerintah menertibkan aparat lapangannya.