Allah Akan Memberi Lebih
BACAAN INSPIRATIF
Saya punya langganan tukang pecel. Namanya Mas Wiro. Ia punya dua anak lelaki yang selisih umurnya dua tahun. Alhamdulillah, si sulung termasuk anak berprestasi di setiap jenjang sekolah. Sementara si bungsu, biasa saja, tidak berprestasi, tapi tetap alhamdulillah karena tidak bandel.
Besar harapan Mas Wiro agar si sulung bisa memperbaiki keturunan melalu jalur pendidikan. Maka si sulung harus kuliah. Kalau dipaksa-paksa, diirit-irit, diperas-peras lagi keringatnya, rasa-rasanya bisa membiayai si sulung.
Masalahnya, bagaimana dengan si bungsu? Mas Wiro tidak sanggup menguliahkan dua-duanya. Tak dipungkiri, muncul tudingan tidak adil yang dia arahkan ke dirinya sendiri. Maka, bersama istrinya, Yu Wiro, ia memanggil si bungsu.
“Bapak-Ibumu njaluk ngapuro, Le. Kami minta maaf tidak bisa berlaku adil padamu. Insya Allah kalau kangmasmu sudah selesai, kamu pun bisa kuliah,” kata Mas Wiro memohon pengertian.
“Ibu mohon ikhlas dan sabarmu, Le,” sambung ibunya berkaca-kaca.
Melihat bapak-ibunya memohon-mohon, si bungsu tak sampai hati. Tadinya, sebagaimana anak pada umumnya, ada perasaan tersisih. Barulah ketika ibunya mendekat dan mencium ubun-ubunnya, mendengar pula nafas ibunya yang tak teratur, hilanglah perasaan tadi. Ia tahu bahwa orang tuanya telah mengambil keputusan yang sangat berat. Kalau tak bisa mengurangi, jangan ditambah-tambahi.
“Justru bapak-ibu nggak adil kalau yang dikuliahkan adalah saya. Saya murid bodoh. Sudah sepantasnya biaya itu menjadi haknya Kakak. Saya ikhlas, Pae, Bue.”
“Tenan, Le?”
“Demi Allah. Kulo ikhlas.”
Yu Wiro tak bisa lagi menahan perasaannya. Dipeluknya anak itu bertubi-tubi seperti baru menemukan prestasi yang selama ini tertutup oleh nilai rapotnya, yakni kelembutan hati.
***
Lama sekali saya tidak bertemu Mas Wiro. Bekas lapaknya yang dulu sudah berganti-ganti penyewa. Baru siang tadi tidak sengaja saya melihat ruko belum lama buka, jualan pecel. Rupanya sekarang Mas Wiro di situ. Kaget saya dengan kemajuannya. Dari lapak sederhana, ke tempat yang lapang dan bersih.
“Wah, luar biasa. Mas. Lama nggak ketemu ternyata udah sekeren ini,” sapa saya.
“Alhamdulillah, Mo. Ini dikasih anak,” jawab Mas Wiro gembira.
Wow. Walau tidak andil apa-apa, saya ikut bahagia melihat perjuangan keluarga ini ada hasilnya. Dalam hitungan saya, si sulung sekarang sudah lulus, dan sangat mungkin sudah punya pekerjaan yang lumayan. Hebatnya lagi dia tidak lupa pada orang tuanya. Sedikit demi sedikit apa yang telah dikorbankan kini dikembalikan. Tentu si bungsu juga tidak kalah hebat. Sikapnya yang legowo, nggak doyan ribut, memuluskan semuanya. Kalau ada penghargaan, saya tak hanya berikan pada si sulung, tapi juga si bungsu.
“Hebat. Nggak sia-sia nguliahin anak,” puji saya.
Mas dan Yu Wiro senyum-senyum.
“Tapi ini semua dari si bungsu, Mo,”
Si bungsu? Nggak salah dengar? Mulut saya sampai mangap agak lama.
Mas Wiro pun bercerita. Rupanya, selulus SMA, karena merasa bodo, nggak bisa kuliah, nyari kerjaan merasa susah diterima, si bungsu pilih fokus bantu-bantu di warung sampai akhirnya betul-betul bisa masak. Nah. Suatu waktu dia diajak temannya yang bermodal untuk buka usaha ayam goreng dengan racikan kekinian. Tidak langsung sukses, tapi langsung terbentuk mental wira usahanya. Mental ini yang membuatnya tidak cengeng. Usahanya pun bisa tumbuh bahkan mulai bercabang. Oh ya. Dia pun kuliah dengan biaya sendiri walau umurnya melewati teman-teman seangkatannya.
“Salut! Didoan apa anak sampeyan, Yu?” tanya saya ke ibunya.
“Yang kudoain terus itu si sulung. Doain diterima ujian CPNS, dapat pengangkatan dan penempatan yang baik. Karena kan pinter anaknya.
Nah si bungsu, aku malah nggak doa minta apa-apa. Aku cuma bersyukur punya anak yang baik, lembut hatinya, sayang sama orang tua. Itu saja.”
Mendengar jawaban Yu Wiro membuat saya berhenti mengunyah beberapa saat. Es jeruk saya aduk dengan sendok entah sudah berapa kali putaran. Fokus saya sudah tidak pada hidangan ini tapi terus melekat pada jawaban tadi. Ternyata, Tuhan menambahMendengar jawaban Yu Wiro membuat saya berhenti mengunyah beberapa saat. Es jeruk saya aduk dengan sendok entah sudah berapa kali putaran. Fokus saya sudah tidak pada hidangan ini tapi terus melekat pada jawaban tadi. Ternyata, Tuhan menambahkan nikmat bukan karena kita meminta lebih, tapi karena menerima apa yang ada.
https://twitter.com/bengkeldodo/status/1535001497796153344?t=9osc3ExEJgvrFPOHJzhwTg&s=19
Mr. Dedy MV