Saya Dianggap Berkhianat, Padahal Saya Hanya Memilih Kembali


Saya tak pernah menyangka bahwa perubahan pilihan politik bisa membuat saya dihujat, dilabeli pengkhianat, bahkan dilecehkan secara pribadi. 

Sejak saya menyatakan dukungan terbuka kepada Pak Prabowo Subianto di platform X, hidup saya di media sosial berubah drastis. Padahal saya hanya menyampaikan sikap politik saya secara terbuka. Bukan menyerang siapa pun, 

Tapi justru saya diserang, terutama oleh sebagian orang yang dulu satu barisan ketika saya sempat mendukung Anies Baswedan saat Pak Prabowo bahkan belum memastikan diri maju sebagai capres. Saya disebut menjilat. 

Dituding oportunis. Bahkan sampai dihina bentuk wajah dan pekerjaan saya. Entah sejak kapan beda pilihan politik membuat orang merasa berhak menginjak harga diri orang lain. Saya ingin tegaskan: saya bukan fanatik buta. 

Saya memilih berdasarkan keyakinan dan pertimbangan rasional. Ketika dulu saya mendukung Anies, itu karena saya belum tahu apakah Pak Prabowo akan maju. Ketika beliau resmi mencalonkan diri, dan saya melihat gagasannya yang menyatukan, rekam jejaknya yang konsisten, dan sikap kenegarawanan yang makin matang saya mantap berpindah haluan. 

  Apa salahnya? 

 Demokrasi memberi ruang untuk berubah, berefleksi, lalu bersikap. Bukan mengikat warga untuk setia membabi buta pada satu tokoh seumur hidup. Bukan saya yang berubah hati. Saya hanya kembali ke tempat yang paling saya yakini benar. Saya tidak sakit hati karena dihina. Saya justru prihatin. Karena kita, sebagai bangsa, mulai kehilangan kemampuan menerima perbedaan. 

Mulai tersesat dalam fanatisme digital yang mematikan akal sehat. Politik mestinya jadi ruang berpikir, bukan ruang makian. Pilihan bisa berbeda, tapi adab harus dijaga. Kita bisa mendukung siapa saja, tapi tak perlu membenci mereka yang memilih lain. 

 Saya tidak akan berhenti bersuara. Bukan karena saya ingin viral, tapi karena saya ingin tetap waras di tengah bisingnya kebencian yang dianggap biasa. Silakan anggap saya berkhianat. Tapi biarlah sejarah yang menilai, bukan algoritma linimasa yang bising sesaat. 




 @bengkelodo Orang biasa yang hanya ingin berpikir sendiri, tanpa dipaksa membenci.

Komentar

Postingan Populer